Written by : dr. Komang Aditya Yudistira1, dr. I B Rangga Wibhuti, SpJP(K)2
Kardiomiopati hipertrofi merupakan salah satu jenis gangguan otot jantung yang diturunkan secara genetik melalui autosomal dominan, dan sebagai penyebab kematian mendadak paling sering pada usia muda1. Bedasarkan European Society of Cardiology (ESC), kardiomiopati hipertrofi didefinisikan sebagai adanya penebalan dinding ventrikel kiri yang asimetris, tanpa adanya penyebab jantung lain dan penyakit sistemik yang dapat menjelaskan kondisi hipertrofi pada pasien2,3. Kejadian kardiomiopati hipertrofi, dilaporkan 0,05-0,2% pada populasi. 4 Pasien dengan hipertropi kardiomiopati dapat menunjukan salah satu atau lebih bentuk abnormalitas yaitu obstruksi left ventricular outflow (LVOT), disfungsi diastolik, iskemia miokardium dan mitral regurgitasi. 6
Ekokardiografi memiliki peran dalam mendiagnosis, menskrining dan memantau pasien dengan hipertrofi kardiomiopati7. Pemeriksaan ekokardiografi dengan transthorakal digunakan, secara sistematis untuk: menilai adanya hipertrofi ventrikel kiri asimetris (Gambar 1, 2)8, adanya obstruksi LVOT, Systolic Anterior Motion (SAM), dan menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri serta ukuran atrium kiri8. Hipertrofi sebagian besar melibatkan septum interventrikular pada segmen basal ventrikel kiri, terkadang hingga dinding lateral, posterior septum dan apeks ventrikel kiri. Penilaian ekokardiografi ini dilakukan pada fase end diastole9.
Secara klinis sangat penting dalam membedakan antara bentuk kardiomiopati hipertrofi obstruktif dan non-obstruktif oleh karena berhubungan dengan manajemen strategi yang bergantung pada gejala yang timbul akibat obstruksi. 2,10 Melalui Teknik doppler yang kontinu, pasien dengan kardiomiopati hipertrofi obstruktif bila kondisi basal (istirahat) memiliki gradien ³ 30 mmHg. Obstruksi yang labil, apabila pasien memiliki gradien < 30 mmHg pada saat istirahat dan ³ 30 mmhg dengan provokasi fisiologis (manuver valsava). Kardiomiopati hipertrofi non obstruktif, bila gradien <30 mmHg pada saat istirahat dan dengan provokasi) 2,11,13. Menilai obstruksi laten LVOT dapat menggunakan 2D atau teknik doppler13. Peningkatan gradien obstruksi LVOT ³ 50 mmHg yang diprovokasi oleh manuver valsava pada posisi duduk atau semi supinasi, dan berdiri, berguna dalam menilai resiko kematian mendadak14. Apabila dengan provokasi didapatkan gradien obstruksi LVOT < 50 mmHg, maka disarankan untuk menjalani exercise stress echocardiography. (Bagan 1)
Obstruksi LVOT bersifat dinamis (Gambar 3)8, dipengaruhi oleh kondisi pembebanan ventrikel dan kontraktilitas8. Peningkatan kontaktilitas miokardium, penurunan volume ventrikel atau penurunan afterload akan meningkatkan derajat obstruksi subaortik16. Apabila teradapat gradien pada ruang ventrikel kiri maka sangat penting untuk mengeksklusi obstruksi yang tidak berhubungan dengan SAM, seperti membran subaortik, abnormalitas katup mitral dan obstruksi mid-cavity17.
Abnormalitas katup mitral, pada pasien kardiomiopati hipertrofi dapat terjadi SAM pada katup mitral18. Melalui M-Mode pada ekokardiogafi, dapat menilai adanya SAM yang ditandai dengan adanya mid-sytolic notching (Gambar 4)8 pada katup aorta dan kontak antara katup mitral anterior dengan septum akibat adanya venturi effect yang mendorong katup menuju outflow tract8,19. Pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofi obstruktif, memiliki septum interventricular semakin besar, dengan ruang ventrikel kiri yang kecil sehingga, kejadian obstuksi LVOT dan mitral regurgitasi ke arah dinding posterior atrium kiri semakin meningkat20,21. Meskipun demikian, dalam menegakkan diagnosis kardiomiopati hipertrofi obstruktif, tidak mutlak disertai SAM22, 2
Pembesaran atrium kiri terjadi akibat adanya disfungsi diastolik, mitral regurgitasi dan miopati atrium18,17. Meskipun pembesaran atrium kiri dapat dinilai melalui pengukuran dimensi linear, tetapi harus berhati-hati oleh karena dimensi linear dapat salah menggambarkan ukuran yang sebenarnya, karena ruang atrium telah mengalami remodeling secara asimetris20. American Society of Echocardiography (ASE) merekomendasikan pengukuran secara kuantifikasi ukuran atrium kiri melalui LA volume index (biplane area length atau method of disks) dengan body surface area (BSA). LA volume index > 34 ml/m2 memiliki nilai prediktif yang lebih besar untuk terjadi hipertrofi ventrikel kiri, derajat disfungsi sistolik dan luaran kardiovaskular yang buruk21,22.
Disfungsi diastolik pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofi umumnya berupa gangguan relaksasi miokardium hingga pola pengisian ventrikel kiri restriktif, terlepas dari adanya gejala atau adanya obstuksi LVOT23. Penilaian tekanan pengisian ventrikel kiri sangat membantu dalam mengevaluasi gejala19,21. Penggunaan teknik doppler ekokardiografi sangat sensitif dalam mengukur fungsi diastolik tetapi dipengaruhi oleh adanya kondisi pembebanan, denyut jantung dan usia. Sehingga dalam menilai fungsi diastolik pada kardiomiopati hipertrofi memerlukan Teknik doppler mitral valve inflow, Tissue Doppler Velocities (TDI) pada anulus mitral, kecepatan aliran vena pulmonalis, tekanan sistolik arteri pulmonal dan ukuran ventrikel kiri24.
Fungsi sistolik pada kardiomiopati hipertrofi biasanya normal ataupun supra normal, terlepas adanya obstruksi LVOT25. Fraksi ejeksi pada kardiomiopati hipertrofi normal meskipun terjadi gangguan fungsi kontraktilitas longitudinal yang dibuktikan dengan adanya penurunan systolic annular velocities, strain dan strain rate26. Penelitian pada pasien dengan HCM telah menunjukkan penurunan longitudinal strain (Gambar 6) dengan gradien basal ke apikal, peningkatan circumferential strain, normal pada twist atau torsion sistolik, dan penurunan untwisting diastol. Pada kondisi yang terminal dapat terjadi myocardial fibrosis yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik yang progresif pada fase akhir kardiomiopati hipertrofi. Penilaian fungsi sistolik dengan menggunakan Biplane Simpson’s ejection fraction dan TDI, harus dilakukan secara rutin penilaian awal diagnosis terutama pada bagian dinding basal inferoseptal dan anterolateral27.
Ekokardiografi transesofageal perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gambaran echo yang tidak jelas ataupun sebagai alternatif dan pemeriksaan tambahan Chest Magnetic Resonance Imaging (CMR) 28. Transesofageal juga berguna pada pasien dengan obstruksi LVOT yang mekanismenya tidak jelas sebelum menjalani tindakan lebih lanjut, dan pada kasus mitral regurgitasi yang berat ketika dicurgai adanya abnormalitas katup29. Selain itu transesofageal juga digunakan sebagai intraoperatif menilai keberhasilan tindakan ablasi septum atau miometokmi melalui kuantifikasi residual gradien, derajat mitral regurgitasi, fungsi ventrikel dan terjadinya defek septal ventrikel30.
Penulis:
1. dr. Komang Aditya Yudistira adalah peserta PPDS Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD – RSUP Sanglah Denpasar
2. dr. I B Rangga Wibhuti, SpJP(K) bekerja sebagai Staf Divisi Non Invasif Ekokardiografi dan Pencitraan Kardiovaskular Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD – RSUP Sanglah Denpasar